Berkah tahun baru Imlek yang jatuh pada 10 Pebruari 2013, tidak hanya dirasakan kaum Tionghoa (Cina) yang merayakan. Akan tetapi, menjelang pergantian tahun baru ini, juga menjadi berkah emas tersendiri bagi ratusan perajin lidi (biting) dupa hio yang ada di sentra kerajinan lidi Desa Sriti, Desa Temon, Desa Tumpak Pelem, serta Desa Tempuran, Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo.
Ini menyusul sejak sebulan menjelang Imlek, harga lidi produksi mereka harganya naik 35 persen yakni dari Rp 2.200 per kilogram, kini naik menjadi Rp 3.000 per kilogram.
Karena itulah, ratusan perajin lidi di wilayah perbatasan Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo dan Kecamatan Tugu, Kabupaten Trenggalek ini, setiap hari sibuk menyelesaika pesanan lidi dupa hio yang biasanya berwarna merah itu.
Apalagi, hasil produksi mereka, tidak hanya untuk kalangan pemesan asal Karasidenan Madiun, akan tetapi juga sampai Semarang, Jakarta, Bali, serta impor ke Negara Cina.
Sentra industri lidi itu, tidak hanya sejak kali ini. Akan tetapi, sudah digeluti secara turun temurun sejak Tahun 1990 silam atau sejak harga lidi dupa hio masih dihargai Rp 500 sampai Rp 600 per kilogram. Warga semakin bersemangat mengembangkan usaha ini, karena mampu mendongkrak perekonomian warga serta mampu menyekolahkan anak-anak mereka dari usaha kerajinan lidi itu.
Salah seorang perajin lidi dupa hio, Subandi (40) warga RT 04, RW 04, Dusun Tawang, Desa Sriti, Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo mengaku sudah menemuki usaha ini sejak Tahun 1990 lalu. Baginya berkah menjadi perajin lidi bukan hanya dirasakan saat hendak menjelang Tahun Baru Imlek. Akan tetapi, hampir dirasakan setiap hari. Namun sejak sebulan menjelang Tahun Baru Imlek harga lidi dupa hio naik 35 persen dari sebelumnya seharga Rp 2.200 per kilogram kini dihargai tengkulak dan pengepul Rp 3.000 per kilogram.
"Meski setiap rumah menjadi perajin lidi dupa, tidak akan kekurangan bahan baku karena pengepul juga menyediakan bahan baku. Bambu per batang Rp 6.000 sampai Rp 7.000, jika kami kerjakan menjadi lidi dupa akan menjadi skeitar 15 kilogram lidi. Oleh karenanya saat permintaan naik dan harga naik, kami semakin bersemagat memproduksi," terangnya kepada Surya, Kamis (7/2/2013).
Selain itu, Subandi menjelaskan jika mampu menyekolahkan ketiga anaknya, membeli motor dan lain sebagianya merupakan hasil kerajinan lidi dupa. Jika mengandalkan berkebun dan ke sawah yang masa tanam padinya setiap setahun sekali, dia mengaku tak bakal mampu menyekolahkan ketiga anaknya.
"Jika butuh uang membayar sekolah sewaktu-waktu masih bisa dijualkan lidi dupa 10 sampai 20 kilogram sesuai kebutuha kami," paparnya.
Hal senada disampaikan pasangan suami istri Sujarno (40) dan Jemitri (35) warga RT 01, RW 01, Dusun Dasri, Desa Sriti. Meski sudah memiliki toko klontong di rumahnya, mereka berdua masih tetap menekuni usaha kerajinan lid dupa ini sejak tahun 1991 silam.
Pasangan suami istri ini setiap harinya dibantu orangtuanya, Giyem (60) serta anaknya sepulang sekolah. Menurut Sujaro kendala dalam produksi lidi dupa adalah kurangnya peralatan yang bisa membantu mempercepat hasil penghalusan lidi dupa.
Bahkan Sujarno dan ratusan perajian lainnya, dulu membersihkan rautan lidi hanya menggunakan kaki denga cara lidi diinjak-injak dengan kaki. Namun, sekarAng sudah mulai membuat alat untuk membersihkan serabut bambu dengan mesin diesel berbahan bakar bensin.
"Karena tak ada bantuan dari Pemkab Ponorogo, kami merakit mesin penghalus lidi ini dengan modal Rp 700 ribu sampai Rp 1 juta. Tidak hanya kami, bantuan alat dan permodalan tidak pernah turun di empat desa sentra kerajinan lidi ini. Kami mampu memenui pesanan Negara Cina, Pulau Bali, Jakarta, Semarang dan Surabaya tetapi Pemkab Ponorogo tidak pernah menengok kami," paparnya.
Sementara Jemitri menambahkan setiap bahan baku berupa bambu datang, pihaknya sellau mengambil bahan bambu minimal Rp 400.000. Namun, tidak sampai sebulan, saat sudah menjadi lidi dupa, mampu menghasilkan uang sekitar Rp 1 juta lebih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar